Ahlan Wa Sahlan! ^^

Assalamu'alaykum warahmatullah, terimalah sapaan tulus yang datang dari hati ini, Saudaraku. semoga salam ini yang menjadi saksi kita kelak dalam perjalanan menuju syurgaNya. Menembus ruang dan waktu... di pertemuan sesungguhnya setelah kematian bersama Sang Teladan sepanjang masa Rasulullah sholallahu 'alayhi wasalam; di telaga Alkautsar.

Senin, 15 Agustus 2011

Ramadhan day 15th

Ramdhan hari ke-15...
sudah setengah bulan nih!
purnama juga tak lagi benderang
kabut hitam baru saja menatang terang
seperti sangat menyukai bulan yang hendak berpendar
seperti menggoda.
namun, hilang di se-per-empat malam.
huh, absurd memang!

adakah tanya belum terjawab?
bahagia yang belum terluap?
tangis yang masih meng-endap?

semua peluh dan keluh,
mengaduh dalam satu bait panjang lantunan do'a yang menenangkan
menghabiskan 1 surah panjang dari juz 27 atau 29 pada tiap raka'atnya dan tenggelam dalam sujud panjang di se-per-tiga malam
  
bukankah ini merupakan salah satu perintahNya juga,
dalam kitab yang dibawa oleh Muhammad SAW 5 abad lalu
"(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, atau berbaring..."
dan kau juga kau melakukan itu sebagai salah satu bukti kecintaanmu terhadap Sang Khalik dan keturunan dari Sang Khalilullah; Ibrahim AS

dia manusia terbaik sepanjang masa.
penghulu para nabi, rasul, dan para syuhada
Ia manusia paripurna yang darinya-lah aku belajar bersyukur

kesyukuran atas segala nikmat yang tiada terhitung
membuncah pada dirinya yang membuatnya tidak pernah meninggalkan amalan-amalan sunnah

ia ridho kakinya menjadi bengkak karena sholat malam yang dilakukannya
ia sering mengganjal perutnya dengan kerikil yang membuat para sabahat menangis ketika mengetahuinya
bahkan ia lebih menyukai tidur dengan hanya beralaskan tikar dari anyaman daun yang dikeringkan
sementara para raja Persi dan Romawi tidur di atas kasur yang empuk yang nyaman juga permadani yang lembut

sabdanya: Afala akuna 'abdan syakuro?


***



Ramadhan hari ke-16
14 hari lagi purnama itu hilang
hanya ada sebuah lengkungan garis kuning keemasan yang terlihat samar

itu bulan baru!
Syawwal namanya.
yang berarti Ramadhan telah usai
dan kau berjanji akan kembali setelah tiga purnama, bukan?
setelah itu kau akan menunggu sumpahmu
dan kau yang lain...
Ku rasa kau masih berikhtiyar untuk takdir terbaikmu
di Jogja, Medan, atau Jepang
atau dalam takdir Allah yang lainnya

dan aku...
masih dengan label dan status yang sama seperti 5 tahun yang lalu
tenggelam dalam tumpukan naskah buram
berangka 100 tahunan
dan belum ada perubahan signifikan
apalagi berpenghasilan


Tenang!
aku tidak sedang meminta perhatian
agar kalian berempati dan merasa kasihan
aku hanya sedang menceracau tidak karuan
jangan dipikirkan.
hanya sedikit khawatir
akan kembali merasa kehilangan...

Raudhoh 7, 16 Ramadhan 1432 H
Rose

Kamis, 02 Juni 2011

MySt(e)ry=MySt(o)ry


Beberapa waktu belakangan banyak peristiwa yang mengingatkanku tentang masa lalu. Masa kecilku dimana banyak hal terpetakan saat itu; tentang banyak cita-cita, tentang kesenanganku terhadap sesuatu, tentang masa depan yang kala itu masih menjadi misteri bagi anak kecil usia 11 tahun yang sedang bersemangat mencari jati dirinya.
Memori-memori itu kembali berkelibat dalam pikiranku. Menjejali ruang sempit dalam otak kananku. Sampai suatu hari di pekan lalu, aku teringat akan keinginanku untuk menjadi seorang violist. Kala itu aku terdiam. Cukup lama. Mengenangnya kembali sambil mendengarkan lantunan instrument biola yang sengaja ku download. Bibir ini mengembang. Mata ini terpejam. Hanya memori ini yang berjalan menembus waktu. Kala itu, 12 tahun silam. Anak kecil itu menginginkan dirinya bisa bermain biola. Alat musik yang saat itu sangat ia gemari. Hingga terbawa mimpi. Dalam mimpinya ia mahir memainkan alat musik gesek itu dengan merdu.  Hmm… Seperti menemukan separuh jiwa yang sempat hilang. That was my passion.. and after all I still feel the same... violist wanna be!
At least, kemampuan ku dalam memainkan alat musik bersenar sudah pernah teruji. Aku mampu memainkan gitar dengan baik. Meskipun tidak sampai mahir sebab gitar bukan ‘jiwa’-ku. Paling tidak, cukup dengan kunci-kunci dasar dan beberapa kunci balok yang ku kuasai dapat membuatku menciptakan beberapa lagu untuk teman-temanku saat ujian kelompok seni musik ketika SMA.. atau mencari not dalam sebuah lagu pop terbaru kala itu. Ternyata ada keuntungannya juga menjadi seorang auditori dan pendengar yang baik. Itu berarti kecerdasan musikalku bisa diperhitungkan. Haha..
Belakangan jadi sering menertawakan diri sendiri. Banyaaak sekali impian yang ingin dicapai. Mulai dari kuliah S2 ke Eropa (Belanda atau Inggris untuk Filologinya atau Jerman untuk Psikologinya –hehe, u wish!) sampai sempat memetakan untuk belajar bahasa Arab dan menambah lebih banyak hapalan Qur’an sehingga dapat kuliah S2 di Madinah dan mengambil syari’ah atau sejarah (hehe, jauh banget ya?!).  Namun, realisasinya malah berantakan. Fokusnya jadi berpecah. Kesungguhannya jadi terbelah. Jika dipetakan kembali, impian-impian yang pernah dan sedang aku jalani belum ditemukan “benang merah”nya. Jika divisualisasikan dalam bentuk lukisan, mungkin gambar yang tercitrakan adalah gambar benang kusut yang berwarna merah. Benang yang masih memiliki simpul-simpul terikat, kuat, dan membulat. Belum bisa diuraikan satu demi satu. Menjadi satu jalinan benang panjang yang dapat lebih bermanfaat.
Banyak orang yang telah menyarankan, termasuk Mama, untuk fokus dan menyelesaikan amanahku; satu per satu! Mungkin benar perkataan mereka. Sumbatan-sumbatan dalam hidupku ini yang harus segera dibuka dengan ikhtiyar yang sungguh-sungguh. Allah kan akan memberikan hasil sesuai yang diusahakan to? Dan Ia selalu sesuai dengan prasangka hambaNya, inilah hidupku. Takdirku. Narasi yang ku buat atas izinNya. Mystery mungkin bisa berarti misteri yang juga bisa berarti takdir. Namun, Mystery is also mean myStory; dan aku akan membuat simpul-simpul benang itu terbuka dengan segera dan melanjutkan narasiku yang juga masih menjadi misteri takdir Allah…

Roudhoh 7, 1 Juni 2011

Minggu, 01 Mei 2011

Fajar di Batas Senja (the Sequel)


Tidak! Saya bukan seorang yang melankolis. Lebih cocok dikatan peka, mungkin. Haha. Hey, ini bukan defences mechanisme saya lho.. tapi benar kok. Saya bukan termasuk orang-orang lembut dengan kapasitas tampungan air mata yang banyak. Jika pun ada hal-hal yang menyedihkan, seperti disakiti (fisik –jangan sampe- maupun psikologis –sering, hehe-), kehilangan (barang maupun orang), atau peristiwa yang mengesalkan, saya lebih memilih untuk lebih banyak merenung dan diam.  Mengevaluasi apa yang telah terjadi dan merencanakan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Eits, tapi jangan anggap saya tidak punya perasaan. Saya tetap menangis. Akan tetapi, menangisnya saya biasanya dalam momentum-momentum tertentu. Misalnya, sholat dan berdoa (tidak selalu sih. Apalagi kalau pas lagi banyak masalah, hehe kalau yang ini semua orang kayaknya juga) lebaran (pas sungkem. Biasanya sama bapak pasti langsung menganak sungai. Ga’ tahu kenapa, terjadi begitu saja), wisuda (sedih karena melihat akan ada banyak pengangguran baru di Indonesia Raya: Merdeka! Merdeka!), datang ke panti asuhan cacat ganda (kalau yang ini benar2 spechless ga bisa ngomong apa2. Cuma melihat teman2 yang ada di sana senyum sedikit, tiba2 air mata sudah membanjiiir aja. Membayangkan kalau mereka bisa ngomong mereka akan cerita apa ya? Atau kalau mereka kesakitan dan sedih mereka akan cerita kesiapa? Karena bahasa mereka berbeda dengan manusia biasa. Itu sebabnya mereka bagitu istimewa, manusia luar biasa), dan mungkin satu lagi adalah... akad nikah! (Wow, excellent!)
Acara yang terakhir ini yang agak bikin malu. Habis yang nikah siapa yang nangis siapa. Haha, jadi malu sendiri. Berasa saya yang di nikahkan. Untung baru menyaksikan akad nikah kurang lebih  dua kali seumur hidup. Hehe, jangan heran ya. Memang sengaja datangnya pas selesai akad. Soalnya kalau setiap ada walimahan saya datang ke akadnya terus saya menangis setiap kali akad selesai diucapkan, bisa-bisa di cap ‘Drama Queen’ gara-gara tukang nangisan pas akad nikah. Bagus kalau bawa persiapan tisu. Kalau sedang tidak membawa, heem... alamat baju walimahannya menjadi sasaran pengganti sapu tangan.
 Kalau masalah malu mah, malu juga. Namun, bagimana lagi, emang sedih kok. Membayangkan yang mengucapkan akad adalah ayah saya. Laki-laki yang selama ini melindungi istri dan anak-anaknya. Menjadi pahlawan keluarga memperjuangkan hidup dirinya dan keluarganya. Membayangkan satu kalimat sakti ketika diucapkan saat akad akan merubah seluruh tatanan hidup seorang wanita kedepannya. (Heeem, horor banget ga tuh). Tugasnya bertambah. Naik jenjang. Selain masih bertugas sebagai anak dari orang tuanya, ia juga bertugas sebagai istri dari suaminya dan anak bagi orangtua suaminya. Belum lagi kalau nanti akan memiliki anak dalam waktu cepat. Tentu tugasnya akan bertambah lagi, yakni menjadi ibu. Sudah terpikir sampai kesitu siih.. tetapi untuk menjalankannya nanti dulu deh. Masih banyak yang perlu diselesaikan. Mumpung masih bisa kemana-mana sendiri dan belum ada yang mengatur. Hehe, kesempatan. Meskipun khawatir banyak fitnah juga karena belum segera menikah. Namun, insyaAllah pasti nanti akan ada masanya lah. Tunggu saja.
Kalau diingat-ingat sih, ini akad kedua kalinya setelah kurang lebih tujuh tahun yang lalu saya dan teman-teman halaqoh saya menyaksikan akad nikah Murobbiyah kami di salah satu GOR kelurahan di Bekasi. Sempat menangis kala itu tetapi tidak sampai sesenggukan. Ya, cukup menitikkan air mata saja. Kala, itu saya sebenarnya masih belum paham tentang konsep akan nikah yang sakral itu. Sekarang yang sudah sedikit lebih tahu, nangisnya jadi lebih banyak. Tidak hanya setitik air mata. Tetapi sampai bertitik-titik air mata.
Sedih. Ya, iya lah. Ngebayangin, seorang ayah yang tadinya memiliki tanggung jawab kepada anak-anaknya harus merelakan melepas anaknya yang sudah dididik dan dirawat sampai sekian puluh tahun kepada laki-laki yang mungkin baru dikenalnya selama beberapa bulan atau beberapa tahun saja. Seketika itu juga status seseorang akan berubah begitu juga kehidupannya. Termasuk masalah uang dan status, juga tempat tinggalnya kemudian serta banyak kejutan-kejutan lainnya  pasca-pernikahan. Makanya, akad itu bukan sesuatu yang sembarangan. Akad nikah itu adalah kaidah syariat yang membuat haram menjadi halal. Kalau belum akad, jangan coba-coba mengahalalkan. Langkahi dulu persetujuan para bapak.
Nih, jadi ngingetin para kaum Adam. Laki-laki itu jangan suka sembarangan dan tidak sopan dengan perempuan. Mereka masih punya seseorang yang harus dimintakan izinnya untuk ‘disakiti atau dibahagiakan’. Mereka masih punya seseorang yang bertangung jawab atas dirinya untuk ‘dimuliakan atau dihinakan’. Enak aja dia ngerayu-ngerayu anak orang. Menjanjikan ini itu kepada si anak perempuan. Perempuan mana coba yang tidak luluh ketika ada yang hendak melamarnya. Secara psikologis memang cinta[perlindungan, kesetiaan] itulah yang dibutuhkan perempuan. Belum jadi dilamar, sudah ditinggal pergi. Alasannya banyak. Banyak alasan. Salah satunya mungkin ada alternatif yang lebih memiliki prospek. Wiuh, bahasanya agak serem nih tetapi memang kebanyakan gitu tuh. Ga laki-laki biasa ga laki-laki yang luar biasa. Sama saja sebenarnya. Perbedaanya dalam masalah penjagaan diri terhadap hawa nafsunya yang buruk saja.[hehe, emosi tinggkat tinggi. Pengalaman kayaknya. Ga ding bukan saya..]
Kalau diingat-ingat banyak kejadian yang membuat ‘sakit hati’ adalah pada akhirnya yang jadi korban atas kesengsaraan yang menimpa perempuan disebabkan perempuannya sendiri [agak feminis dikit nih]. Sudah tahu kan kaidah yang mengatakan bahwa laki-laki kelemahannya ada pada mata (pandangan) dan telinga (pendengaran)nya. Adapun perempuan lemah pada telinga (pendengarannya) dan pada hatinya. Wajar kalau wanita sering luluh karena gombal-gombal yang diberikan sama lawan jenisnya itu. Mau sekeras apapun pendiriannya. Kalau ‘manuver’nya yang dilakukan secara sistemik dan istiqomah. Siapa yang tidak luluh. Yah, paling tidak iba-lah kerena usahanya sudah sangat keras sehingga timbul afeksi. Nah, seringnya lagi nih. Argumen itu dibantahkan sebab kejadiannya dari pandangan si laki-laki nih yang melihat wanita yang –katanya- begitu menarik hatinya –atau syahwatnya, hayo. Ekstrem, tetapi ini bahasa fikh teman-. Makanya dia melakukan manuver-manuver itu. ‘kan gara-gara perempuannya tuh yang pakaiannya menarik pandangan untuk dilihat’. ‘lalu ketika di sms dia memberikan peluang. Jadi salahnya kenapa mau berbalas-balasan sms dengan saya.’
WHAAAAT!!
Kalau saya bisa bela diri, sudah saya samperin tuh laki-laki dan ngajak duel. Sayangnya, saya tidak bisa T.T... lagi pula tidak ahsan ‘berantem’ fisik degan laki-laki. Kemungkinan besar akan kalah sebab emosi wanita lebih dominan sehingga teknik-tekniknya jadi tidak teraplikasikan dengan sempurna. Nendangnynya jadi bikin kaki keseleo misalnya. Atau pas mau ninju jadi kesakitan sendiri karena posisi tangan dan lengan yang salah. Wah, kalau begitu mah pakai jurus instant aja.  Disamperin orangnya trus ditonjok aja hidungnya. Hehe... lebih aman.      
Eeeh.. kok pembahasannya jadi jauh kemana-mana ya. Um, pada akhirnya berbicara masalah takdir adalah berbicara tentang kesiapan kita menerima apa yang akan dan telah Allah berikan kepada kita. Maksudnya, takdir adalah sesuatu yang tekah terjadi. Jadi kalau belum terjadi belum takdir namanya, misalnya akhirnya sahabat saya ini menikah dengan tetangga kecamatannya sendiri yang sebelumnya tidak ia kenal dengan baik karena hanya mengetahui profilnya dari ‘jauh’. Kebetulan si ikhwannya merupakan ketua mahasiswa daerah tempat mereka tinggal. Disinilah letak seni nya. Letak estetikanya. Letak keindahannya dari setiap skenario yang telah Allah tuliskan secara lengkap dan rinci di Lauh Mahfudz (papan yang terjaga).
Begitulah jika takdir sudah bicara. Tidak pandang bulu. Tidak juga pandang waktu. Jikalau memang sudah gilirannya pasti mudah. Tidak ada yang tidak mungkin bagiNya. Kaidahnya: kehendakNya diatas segalanya “Kun Fayakun!” firmanNya, jika diperintahkan untuk ‘jadi’ maka ‘Jadi-lah’.

ASIN (Akhowat Siap Nikah)

Awal tahun yang penuh berkah. Ternyata rowa’i yang dulu sempat ku tuliskan belum cukup membuat seluruh asrama berdecak kagum bahkan terkejut sampai sedikit kecewa dan memukul-mukul dada. Setelah beberapa hari yang lalu ada lagi rowa’i dengan subbab yang sama; Pernikahan. Ada wajah-wajah yang menjadi berbinar ketika berita itu sampai ke telinga mereka. Ada pula yang biasa saja setelah mendengarnya. Namun, agaknya ada satu ekspresi lain yang bukan keduanya. Tidak. Ini bukan ekspresi negatif. Lebih kepada situasi extraordinary bagi mereka yang sudah mempersiapkan dengan lebih lama dan matang. Mereka yang juga mengimpikan untuk segera meraih setengah dien, malah jadi terdahului. Sakit, sepertinya. Ada siratan keki di sudut wajah mereka tetapi tetap berbalut senyum khas dan candaan seperti biasanya. Namun, bagiku... tetap saja, terlihat. Bahkan dapat ku rasakan semakin jelas dan masuk ke dalam relung jiwa mereka. Mereka Iri. Hehe, hendak merasakan euforia yang sama terjadi pada dirinya. ini situasi yang positif dan konstruktif kok. Bisa dibilang wajar. Hanya saja mencoba berempati pada yang belum berkesempatan.

Memang sahabat-sahabat itulah yang sedang berusaha membaikkan diri mereka. Bukan hanya untuk perjalanan menuju proses sakral penuh makna itu. Namun, lebih kepada bagaimana mereka menyiapkan diri mereka bukan hanya menjadi seorang istri an sich melainkan juga mempersiapkan menjadi sosok pemikul peran luar biasa yang bahkan nyawa taruhannya; menjadi Ibu. Peran inilah yang sesungguhnya tidak mudah dan perlu waktu untuk belajar dan menyesuaikan dengan cepat. Peran ini pulalah yang terkadang kita lupakan sehingga terkadang membelenggu jiwa sebagian istri yang tidak siap dengan kehadiran sosok baru dalam rumah tangganya. Makanya, sydrom baby blues kerap menjadi ‘penyakit’ yang melanda mereka yang belum mempersiapkan jiwa mereka untuk menjadi seorang ibu. Bagi sebagian besar sahabat yang telah mempersiapkan diri, hal ini merupakan core dari kewajiban seorang wanita. Saya tidak berbicara gender disini. Saya berpikir bahwa pembahasan itu sudah selesai pada bab aqidah. [dikaji lagi ya ibu2 tentang rukun imannya!]

Pada akhirnya hal ini bukan hanya berkaitan dengan kesiapan, kemantapan, kematangan, ataupun keinginan menggebu yang berkorelasi positif dengan ikhtiyar [kesungguhan] dan do’a. Allah [pasti] akan memberikan hasil sesuai dengan usaha kita masing-masing kan. Jadi, bagi siapapun yang hendak segera menggenapkan diennya maka siapkanlah berbagai macam kesiapan. Orientasinya tidak hanya kesiapan materi (duniawi) saja tetapi juga kesiapan jiwa (psikologis), ruhiyah, keilmuan (mengerti fikh-fikh), kesiapan jasad (fisik), dan kesiapan-kesiapan lain yang bersifat teknis dan memiliki daya dukung yang relevan dan syar’i tentunya.

Catatan singkat ini sebenarnya sebagai refleksi dari rasa empati pada kepada dua orang teman asrama ku. do’aku semoga Allah menyegerakan untuk menggenapkan sebagian dien yang telah kalian impikan dan proyeksikan disetiap selipan percakapan ketika mengobrol. Ga’ tega sebenarnya melihat pancaran ketertarikan kalian ketika membahas mengenai bab itu ataupun ghiroh kesungguhan dalam menuntut ilmu yang luar biasa saat kuliah-kuliah fikh munakahat. Aku yakin Allah bukan tidak sayang dengan kalian dengan tidak mengabulkan do’a-do’a yang senantiasa kalian panjatkan di setiap sujud-sujud panjang kalian. Bukan pula Allah tidak mendengar dan memperhatikan lantunan do’a penghambaan yang khusuk dan merendah dari hambaNya seusai sholat. Aku yakin Allah punya rencana lain ukhti... dan engkau hanya butuh satu kalimat untuk menguatkan pendirianmu.. “Fashbir, shobron jamiil” maka bersabarlah dengan keindahan.. jika sudah datang waktunya tentu Allah tidak akan membuat kalian menunggu lagi. InsyaAllah akan segera ada yang menjemput kalian dengan hormat dan santun. Meminta dengan baik dan syar’i kepada ayahmu dan Murobbiyahmu (jama’ah) atas tanggung jawab yang akan dipikul selanjutnya atas dirimu dan anak-anak mu kelak.

Bersabarlah sebentar lagi, Ukh. Semoga keberkahan Allah akan turunkan kepada keturunan kalian kelak karena kesabaran atas proses yang telah Allah gariskan... sebab takdir tidak pernah tertukar. Ia hanya menunggu untuk hadir kepada siapa saja yang telah Allah tunjukkan kesiapan atas amanah yang akan diberikan kepadanya kelak. Itulah takdir. Jika Alah berkata “Kun!” maka tiada seorang makhluk pun yang mampu merubahnya. Wallahu’alam

Minggu, 03 April 2011

Ikhwan Pohon Mangga

Seusai kelas malam di asrama. Aku bergegas menuju kamar. Malam itu aku agak enggan rehat sejenak di kelas. Ada beberapa urusan yang harus segera ku selesaikan di kamar. Namun, belum sampai keluar kelas, langkah kakiku terhenti satu langkah ke belakang. Ada yang manarikku rupanya. Tak lama aku tahu ternyata seorang mbak2 yang melakukan hal itu. Kala itu aku yang terkejut hanya mengaduh. Kemudian menanyakan kepadanya tentang sesuatu yang mungkin akan beliau sampaikan. Aku memundurkan tubuhku hingga bisa sejajar dengannya.
“Ada apa, Mbak?” tanyaku sekenanya sambil tetap berjalan beriringan.
“Hehe,…” ia menyeringai. Serangkaian gigi-gigi yang kurang sehat itu ditampilkannya dengan ikhlas. Aku membalasnya. Dengan lebih manis tentunya. Dan dengan gigi yang terawat. Pastinya.
“Eh, Kuchul, gimana tuh temenmu… si Ikhwan Pohon Mangga. Haha.” Ucapnya sambil tertawa pendek khas si Mbak.
“Ha? Ikhwan Pohon Mangga?” seketika dahiku mengerut. Berpikir. Mataku berkedip-kedip. Ikhwan Pohon Mangga? Siapa? Maksudnya?...
“Haha,.. itu lho Chul yang kemarin nebangin pohon yang buat acaramu di kampus itu lho…” jawabnya sambil menghentikan langkahku. Berpikir sejenak. Otak ini sedang menscreening memori mencari data base jangka pendek yang mungkin saya terhidden. Namun, belum ku dapati momentum itu.
“Siapa namanya,… *disebutkan*. haha” ucapnya sekenanya sambil tertawa. Kali ini ia menutup sebagian wajahnya dengan tangan.
“Ooo,.. itu *menyebutkan*… haha….”  Kami tertawa bersama. Mencoba menertawakan kebodohan kami dan kekonyolan dari takdir yang telah Allah tuliskan untuknya; Ikhwan Pohon Mangga.

Split Memory
Kala itu pagi menjelang siang. Waktu dzuhur masih sekitar 1 jam lagi. Sebagian besar santri sudah beraktivitas keluar untuk memenuhi bumi Allah yang luas ini. Mencari rizki, mencari ilmu, mencari penghidupan. Tidak mesti materi kan? Namanya juga Mahasiswa yang aktivis [katanya]. Aku masih berada di asrama siang itu. Terpaksa tidak bisa keluar karena harus menunggu kepastian dari seseorang untuk menjemput takdirnya. Bingung sebenarnya, siapa nanti yang akan diajak membersamaiku  menemuinya. Tiba-tiba poselku bergetar. Sms masuk.
                “10 menit lagi sampe”
Aku panik. Posisinya masih dalam keadaan belum cukup siap. Terlebih aku masih belum menemukan teman untuk membersamaiku nanti. Aku keluar kamar. Celingak-celinguk. Berharap menemukan suara yang bisa ku cari sumbernya. Atau menemukan kepala yang bisa ku tarik tangannya [lho, kok jadi horor]. Memang sudah takdir, Allah mengirimkan mbak2 berpakaian serba putih untuk menemaniku [hehe, kok jadi horror gini… tapi beneran kok waktu itu mbak2nya itu 100% manusia dan berpakaian serba putih]. Aku langsung menemuinya dan memintanya untuk menemaniku. Dia mau. Alhamdulillah.
Waktu itu kami menunggu di dalam kelas. Sepuluh menit sudah berlalu dari waktu yang dijanjikan. Tak lama ponsel ku bergetar kembali. Ada sms.
“Sudah sampe depan”
Baik, dalam hatiku menguatkan. Sebelum keluar aku hendak benar-benar memastikan kehadirannya. Melalui pintu kelas aku mengintip keluar. Pertama hanya kepala. Namun, tak ku dapatkan sosok yang akan ku temui nanti. Semakin penasaran akhirnya setengah badanku ku condongkan keluar. Sambil menaikkan kacamata aku menyipitkan pandanganku. “Mana? Kok nggak ada?” ucapku dalam hati. Aku kembali melihat ponselku. Mencoba mengirim sms.
Masuk aja. Nanti posisinya yang dekat kelas. Di dalam.” Tak lama ia membalas.
Yang mana?
Yang di dalem.” Jawabku singkat.

Saya dan mbak2nya masih menunggun kepastian di dalam kelas. Mbaknya kala itu sedang piket kelas. Jadi sambil berenang minum air.
“Gimana Chul?” tanyanya sambil menyapu lantai berwarna putih. Senada dengan warna pakaian dan tembok kelas juga papan tulis.
“Nggak tau mbak. Nggak jelas. Tadi sudah tak liat keluar tapi kok belum ada.” Jawabku sambil melihat menit yang berganti di ponselku.
“Lha, Udah sampe belum.” Tanya si Mbak kembali sambil menyapu debu yang semakin menumpuk dilantai.
“Udah mbak. Dari tadi. Tapi kok aku liat tadi di depan nggak ada ya?” ucapku dengan polosnya. Tak lama ponselku bergetar kembali. Ada sms masuk.
“Udah selesai”

Sejenak aku tertegun. Kok bisa. Selesai dari mana. Wong liat aja belum. Sepersekian detik otak ini membantu merasionalisasikan sms-sms yang sudah dikirim dan situasi yang ada. Beberapa detik kemudian, aku mengajak si Mbak berjalan menuju halaman paling depan asrama kami. Kaki ini kami langkahkan lebar-lebar. Setelah lewat dari rolling door. Benar sudah dugaanku tadi. Kami melihat halaman sudah penuh dengan daun-daun yang berguguran beserta dahan pohon mangga yang sengaja dipotong secara paksa dan terkahir kami melihat si Ikhwan sedang menyapu lengan dan kakinya yang dirubung semut api dengan tangannya. Saya menahan tawa. Si Mbak malah tertawa.
“Udah, Chi.” Ucapnya dengan penuh kebanggaan. Saya terpaksa tersenyum.
“Iya, makasih, ***.” Jawab saya berusaha tulus.
“Ada lagi nggak? Cukupkan?” tanyanya sambil tetap menyapu tubuhnya dari para pasukan semut yang marah karena ia telah dengan sengaja datang ke pohon mangga tepat sarangnya di ganggu. Saya senyum kembali. Kali ini lebih tulus. Pandagan tetap terjaga.
“uum… cukup kok, InsyaAllah.”
“Oiya, ada sapu nggak… berantakan gini nih. Gimana?” tanyanya kembali kali ini ia sambil menyapu dedaunan mangga yang berguguran dengan kakinya.
“Udah gpp, nanti biar kami aja yang nyapu. Syukron.”
“Bener nih. Ya, udah balik ya.” Ucapnya sambil menggambil golok yang digunakannya sebagai alat untuk membacok si Pohon mangga. Aku bergidik. Horror banget.
“Tadi motongnya pake itu? Bisa po?” tanyaku penasaran.
“Bisa lah, tuh buktinya. Udah ya, cabut. Assalamu’alaykum.” Ia pamit bersama temannya menaiki motor merahnya. Menghilang di ujung jalan.
“Wa’aykum salam.” Jawabku kemudian sambil bergegas membersihkan dedaunan dan mengamankan dahan yang baru saja ditebang.
“Temenmu aneh, Chul… hehehe” si Mbak tertawa.
“Hehe, iya mbak. Aku gak kepikiran kalau begini jadinya. Ayo Mbak…” jawabku sambil menyeret dahan pohon mangga yang agak besar itu beserta buah mangga yang masih kecil dan dedauanan yang masih menempel.

Split Memory

Rasanya hendak memberikan sebuah konfirmasi dari apa yang telah terjadi pagi menjelang siang tadi. Aku nggak tega. Namun, kebenaran harus tetap dikatakan walau pahit. Itu kata pepatah Arab. Entahlah, ba’da sholat dzuhr akhirnya mencoba berikhtiyar mengsms seorang teman yang tadi membantu memotong dahan pohon mangga.
Assalamu’alaykum. ***, makasih ya tadi sudah dibantu. Tapi, afwan…
pohonnya salah…” tak lama sms balasan masuk.
What?!?
Terus gimana? Harus motong lagi nggak?” kepanikan terasa menyerang si teman. Aku membalas.
“tidak usah. insyaAllah cukup. Hanya saja targetnya salah.”
“Pantes. Tadi pas saya naik, mbak2 yang di Laundry depan tu panik gitu sambil bisik2. Mana saya bawa golok lagi.” Aku dan si Mbak tertawa membacanya. Sebab ketika aku keluar tadi. aku memang mendapati ekspresi kepanikan si mbak2 londry depan beberapa detik sesaat kami datang dan setelah ia mengetahui bahwa si ikhwan adalah rekan kami, saya mendengar ia bergumam “o, temenne mbak2 e…”. duh, maaf ya mbak… ^^
“untung antum nggak digebukin orang sekampung. Gara-gara di kira mau nyolong mangga. Pake bawa-bawa golok lagi.” Jawab saya sekenanya.
“Alhamdulillah deh, yang penting ngga disuruh manjat lagi. Semutnya banyak banget tadi diatas. Ini aja badan saya masih gatel-gatel.” Balasnya sembari curcol.
Iya, afwan. Saya pikir antum tahu yang saya maksudkan. Ya sudah, syukron. Semoga menjadi amal pemberat di yaumil akhir kelak.” Balasku kemudian mencoba beempati.
Yo, sama-sama.” Ia mengakhiri.

Keesokan harinya, teman lain mengambil dengan menggunakan mobil dan dibawa ke tempat tujuan. Dua dahan pohon mangga yang menjadi replika sebuah pohon pengharapan tentang sebuah impian, cita-cita, dan masa depan. Diikhtiyarkan dari sebuah upaya maksimal yang penuh tantangan, keberanian yang optimal, dan amal yang ilmunya sedikit kurang [sehingga timbul kesesatan]. Huft, diluar dari itu.. ada sebuah tujuan lillah yang hendak kami semua perjuangkan dengan dahan pohon mangga itu. Atas nama Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai utusan.
Biarpun mimpi-mimpi yang ditempelkan hanya sebuah simbolisasi dari rencana kehidupan. Namun, semoga pohon itu tumbuh di hati-hati kalian. Berbuah dengan ranum dan manis. Berdaun rindang dan menyejukkan. Berakar kuat dan menenangkan. Pohon impian. Dari sebuah ikhtiyar sang Teman. Semoga menjadi sunnah hasanah kedepan. Syukron Jazilan; Ikhwan.

Inspired by: Ida Nur Laely 

Perfect Monday (Lost in Sundak-the Sequel)

Belaian angin timur berhembus mengenai wajah merahku. Aroma garam yang sedari tadi melekat pada baju, kerudung, dan rok-ku menjadikan badan ini agak terasa panas dan perih. Matahari sudah tepat di atas ubun-ubun rupanya. Siang ini sedang terik-teriknya. Namun, agaknya tidak akan menjadi alasan untuk segera berteduh dan mencari tempat yang lebih sejuk dan nyaman. Bahkan sekedar untuk berdamai dengan rasa haus  yang melemahkan. Aku tidak akan melewatkan momentum ini. “Jarang-jarang kita bisa seperti ini.” Hatiku berdesir.

                Aku menatap lurus ke depan. Antara langit dan cakrawala. “Hamparan gradasi biru dan putih yang sempurna.” Pujiku dalam hati. Di batas pandangan mata, nun jauh disana kami menyaksikan. kami berdiri tegak. Tegar mantang ombak. Sudah lama sekali mememang kami tidak pernah lagi merasakan ini. Terlebih dengan banyaknya kesibukan mereka yang bahkan untuk sekadar menanyakan kabar saja perlu meluangkan waktu dan tenaga.
                Terkadang ada perasaan rindu untuk menjadi orang biasa saja. Rindu menjadi sosok sederhana. Tidak resah terhadap amalan. Senatiasa berjaga dalam keikhlasan. Rasanya ingin kembali saja pada dunia yang semula. Tempat dimana aku bisa menjadi diriku sendiri ‘telanjang bulat’ menikmati kegemaranku terhadap kasti dan volli. Juga permaian sepak bola aktif. Maksudnya, aku bukan hanya menjadi penonton tetapi aku menjadi pemain. Kau tahu apa peranku? Aku stiker kawan! Ya, striker bukan stiker lho! What a fabulous position!

Namun, hal itu semua tidak mungkin lagi dapat terulang bahkan dirasakan. Marhalah dan taklif kita juga sudah berbeda. ‘hadiah’ yang akan dijaga juga beda. Membutuhkan energy dan stamina yang prima agar bisa bertenaga agar dapat bisa bertahan hingga di garis finish. Allah sebagai balasannya.  Tidak mudah memang, banyak sekali yang dikorbankan. Waktu, harta, jiwa, raga, keringat, bahkan darah. Wajar. Tentu saja. Bahkan Rasulullah pun pernah melewati fase-fase ini tentu dengan beban yang tidak akan sebanding dengan kita.
Satu hal yang menarik yang perlu digarisbawahi dari pribadinya yang sangat menarik, yakni beliau tidak berdakwah sendirian. Beliau mengajak banyak orang untuk menyeru pada kebenaran dan mencegah dari yang mungkar. Sampai-sampai cara dakwah beliau menjadi fenomena ‘mengerikan’ bagi sebagian besar orang-orang quraisy atas eksistensi bani mereka di Makka kala itu. Islam dengan kalimat tauhidnya bagaikan ancaman virus mematikan yang akan menghilangkan tradisi agama nenek moyang mereka dan eksistensi dari kabilah-kabilah terpandang di Makkah. Akan tetapi, justru dengan hal demikianlah orang-orang hanif Makkah, para bangsawan dan orang-orang kaya seperti Abu Bakar dan Utsman bin Affan juga Abdurrahman ibn Auf masuk ke dalam gelombang pertama pembela agama Allah dan Rasulullah di Makkah. Belum lagi ada orang-orang kuat yang berpengaruh dalam menyokong dakwah Rasulullah di Makkah. Mereka adalah orang-orang yang disegani di kabilahnya bahkan kabilah yang bereskutu dengannya. Mereka adalah ‘Umar bin Khottob dan Hamzah pamanda Rasulullah.

Sangat indah bukan? Tentu. Mereka diciptakan untuk saling melindungi dan mengasihi. Ukhuwah kuncinya. Aqidah dasarnya. Iman pintu masukknya. Jihad atapnya. Dakwah dindingnya.  Innamal mu’minunal ikhwah, begitu firman Allah kepada kita. Agar kita yakin dan bersatu bahwa tidak ada yang dapat memberikan keterangan yang jauh lebih sempurna dibandingkan firmannya yang tidak pernah memberikan kerugian atau diskriminasi dalam bentuk apapun. Ras, warna kulit, budaya, ataupun jenis kelamin. Semuanya sama. Semua sudah tersistematisasi. semuanya setara kecuali dengan satu hal, yakni ketaqwaan. Mau muda--tua, besar--Kecil, kaya--miskin, susah--senang, hitam-putih, laki-laki--perempuan. Semua akan dikumpulkan dan di grading berdasarkan ketaqwaannya kepada Allah.
Aku tersentak dari lamunanku ketika cipratan air asin tepat mengenai wajah dan menempel pada bibirku. Lidahku spontan menggapai air itu. Asin. Jelaslah, namanya juga air laut. Aku tertawa kecil memaki kebodohanku sendiri. Dua sahabatku itu sedang asik memberikan warna pada gradasi biru putih yang sempurna tadi. Jelas karena kerudung dan pakaian mereka yang tidak sama dengan kedua warna tersebut menjadikan pemandangan laut pada siang itu lebih menyegarkan. Mereka bagaikan dua titik dalam satu narasi kehidupan yang menandakan bahwa narasi kehidupan ini belum-lah selesai. Sejarahpun masih tetap dapat tertulis. Meskipun Allah sudah menuliskannya terlebih dahulu di lauh mahfuzh.

Aku segera bergabung dengan mereka. Menikmati permainan mereka yang buat. Terlihat sangat kekanak-kanakan memang. Namun, jika mencoba menghitung ada berapa banyak orang dewasa yang menjadikan dirinya anggun dan wibawa di depan publik sedangkan ketika mereka berkumpul dengan keluarga mereka menjadi seperti anak kecil yang manja dan ingin diperhatikan. Tidak satu atau dua orang bahkan orang-orang seperti ‘Umar juga Anis Matta pun berlaku demikian. Layaknya kami juga. Kami ingin meniru mereka. Mereka yang kecintaannya terhadap dakwah karena Allah dan Rasul-Nya telah terpatri kuat dalam batinnya. Kami ingin seperti mereka yang memiliki kekhasannya masing-masing. ‘Umar dengan Al-Faruqnya yang dapat dengan tegas membedakan yang haq dan yang bathil. Atau layaknya Anis Matta sang Mujahid Pena yang menginspirasi banyak pemuda melalui tulisan-tulisannya.
                                   
Kala itu kami yang katanya sekumpulan orang dewasa berubah seketika menjadi anak-anak manakala ada serbuan ombak berbusa yang mendekati kami. Sepertinya banyak dan besar tetapi ia hilang diujung hempasan bibir pantai. Seperti inikah apa yang pernah disabdakan Rasulullah tentang kita, ummatnya sekarang. Banyak tetapi bagai buih dilautan. Kami berlari menghindari hempasan ombak jika ia pasang dan berjalan mendekati ombak kembali jika ombak itu surut. Bahkan kami bermain lompat ombak. Jika ada ombak yang mendekat salah seorang diantara kami berteriak sambil melakukan atraksi lompat indah yang menegangkan “Lompat!” Byur!!!
Childish. Tidak apa. Perlu sesekali. Untuk mengasah sisi kesensitivitasan dari sisi-sisi kepribadian yang lain. Bukan ingin menjadi orang lain. Bukan. Hal ini adalah permasalahan bagaimana kita menikmati kehidupan. Merancang sebuah narasi kehidpuan kita dengan warna-warni dari apapun yang telah Allah ciptakan. Seni kehidupan, kalau boleh meminjam istilahnya Anis Matta.
                              
Aku berjalan menyisir pantai. Mencoba mencari hadiah berbentuk kerang-kerang kecil yang akan aku bawakan untuk teman sekamarku di asrama. Namun, agaknya sedang bukan musimnya. Angin lembab dari selatan menyebabkan cuaca bulan ini sedikit basah. Lebih banyak rumput laut dan ikan yang berenang di pesisir laut dangkal juga algae yang tumbuh layaknya jamur di musim hujan. Tentu aku tidak akan membawa apa-apa jika yang ada hanyalah spesies planate. Lagi pula jika sampai aku mengambil bagian dari beberapa rumput dan batu yang berada disana, bisa-bisa dituduh sebagai pencuri terumbu karang dan penghancur ekositem perairan pesisir pantai. Gawat.  
                                   
Sebagai muslim yang mencintai alam, aku tentu ingat tugasku sebagai khalifah fil ard.  Aku tidak akan mengamini perkataan gunung yang ketika ia ditanya kesediaanya oleh Allah untuk mengampu bumi ia menolak dengan argument bahwa dirinya akan meletus berkeping-keping jika Allah mengamanahkan bumi kepadanya. Ia hanya bersedia menjadi pasak dalam mengatur keseimbangan bumi. Sementara ketika amanah itu diemban oleh manusia, ia mengatakan bahwa manusia hanya dapat merusak. Jelas itu fakta tetapi aku tetap akan menjadi sesuatu yang Allah ciptakan dengan fithrohnya dan tugasnya yang nyata; the truly khalifah fil ardh, insyaAllah.
Aku melirik jam tangan bertali hitam milikku. Sudah pukul 14.05 menit, waktunya pulang. kami tidak ingin sampai ke rumah kesorean. Perjalanan dari rumah kami menuju pantai ini tidaklah dekat. Butuh azzam yang kuat dan meluruskan niat. Sekitar dua jam saja Alhamdulillah kami telah sampai. Puluhan kilometer dan jalanan yang naik turun menjadi satu pelajaran tersendiri dalam analogi narasi jalan dakwah kami. Belum lagi godaan rasa ngantuk dan lelah yang mengintai bak malaikat pencabut nyawa. bagaimana tidak. Dengan tubuh yang telah kering dan asin ini kami berpacu dengan waktu dan energy. Mata kami haruslah awas tidak boleh meleng. Harus tetap terjaga. Mengedip pun seperlunya saja. Hal ini dilakukakn demi menjaga arah berkendaraan. Jika memejam beberapa detik saja bisa fatal akibatnya. Malaikat pencabut nyawa akan dengan mudah mencabut ruh dari jasadnya. Tentunya dengan izin Allah.
                               
After all, Alhamdulillah, aku sangat menikmati perjalanan kali ini. Meskipun cenderung dadakan karena sempat mengcancel agenda ini tetapi kami sudah berikhtiyar dan atas izin Allah kami bisa pergi. Meskipun hanya bertiga tetapi perjalanan kami kali ini tetap memberikan pelajaran berharga. Semua atas izinNya. Bi idznillah. Dan Allah tidak mungkin salah dalam perhitungannya. Allahu’alam bi showab.

Yogyakarta, 8-9 Oktober 2010
Muzdalifah 8, Asma Amanina III
Rosiana Esti