Ahlan Wa Sahlan! ^^

Assalamu'alaykum warahmatullah, terimalah sapaan tulus yang datang dari hati ini, Saudaraku. semoga salam ini yang menjadi saksi kita kelak dalam perjalanan menuju syurgaNya. Menembus ruang dan waktu... di pertemuan sesungguhnya setelah kematian bersama Sang Teladan sepanjang masa Rasulullah sholallahu 'alayhi wasalam; di telaga Alkautsar.

Minggu, 01 Mei 2011

Fajar di Batas Senja (the Sequel)


Tidak! Saya bukan seorang yang melankolis. Lebih cocok dikatan peka, mungkin. Haha. Hey, ini bukan defences mechanisme saya lho.. tapi benar kok. Saya bukan termasuk orang-orang lembut dengan kapasitas tampungan air mata yang banyak. Jika pun ada hal-hal yang menyedihkan, seperti disakiti (fisik –jangan sampe- maupun psikologis –sering, hehe-), kehilangan (barang maupun orang), atau peristiwa yang mengesalkan, saya lebih memilih untuk lebih banyak merenung dan diam.  Mengevaluasi apa yang telah terjadi dan merencanakan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Eits, tapi jangan anggap saya tidak punya perasaan. Saya tetap menangis. Akan tetapi, menangisnya saya biasanya dalam momentum-momentum tertentu. Misalnya, sholat dan berdoa (tidak selalu sih. Apalagi kalau pas lagi banyak masalah, hehe kalau yang ini semua orang kayaknya juga) lebaran (pas sungkem. Biasanya sama bapak pasti langsung menganak sungai. Ga’ tahu kenapa, terjadi begitu saja), wisuda (sedih karena melihat akan ada banyak pengangguran baru di Indonesia Raya: Merdeka! Merdeka!), datang ke panti asuhan cacat ganda (kalau yang ini benar2 spechless ga bisa ngomong apa2. Cuma melihat teman2 yang ada di sana senyum sedikit, tiba2 air mata sudah membanjiiir aja. Membayangkan kalau mereka bisa ngomong mereka akan cerita apa ya? Atau kalau mereka kesakitan dan sedih mereka akan cerita kesiapa? Karena bahasa mereka berbeda dengan manusia biasa. Itu sebabnya mereka bagitu istimewa, manusia luar biasa), dan mungkin satu lagi adalah... akad nikah! (Wow, excellent!)
Acara yang terakhir ini yang agak bikin malu. Habis yang nikah siapa yang nangis siapa. Haha, jadi malu sendiri. Berasa saya yang di nikahkan. Untung baru menyaksikan akad nikah kurang lebih  dua kali seumur hidup. Hehe, jangan heran ya. Memang sengaja datangnya pas selesai akad. Soalnya kalau setiap ada walimahan saya datang ke akadnya terus saya menangis setiap kali akad selesai diucapkan, bisa-bisa di cap ‘Drama Queen’ gara-gara tukang nangisan pas akad nikah. Bagus kalau bawa persiapan tisu. Kalau sedang tidak membawa, heem... alamat baju walimahannya menjadi sasaran pengganti sapu tangan.
 Kalau masalah malu mah, malu juga. Namun, bagimana lagi, emang sedih kok. Membayangkan yang mengucapkan akad adalah ayah saya. Laki-laki yang selama ini melindungi istri dan anak-anaknya. Menjadi pahlawan keluarga memperjuangkan hidup dirinya dan keluarganya. Membayangkan satu kalimat sakti ketika diucapkan saat akad akan merubah seluruh tatanan hidup seorang wanita kedepannya. (Heeem, horor banget ga tuh). Tugasnya bertambah. Naik jenjang. Selain masih bertugas sebagai anak dari orang tuanya, ia juga bertugas sebagai istri dari suaminya dan anak bagi orangtua suaminya. Belum lagi kalau nanti akan memiliki anak dalam waktu cepat. Tentu tugasnya akan bertambah lagi, yakni menjadi ibu. Sudah terpikir sampai kesitu siih.. tetapi untuk menjalankannya nanti dulu deh. Masih banyak yang perlu diselesaikan. Mumpung masih bisa kemana-mana sendiri dan belum ada yang mengatur. Hehe, kesempatan. Meskipun khawatir banyak fitnah juga karena belum segera menikah. Namun, insyaAllah pasti nanti akan ada masanya lah. Tunggu saja.
Kalau diingat-ingat sih, ini akad kedua kalinya setelah kurang lebih tujuh tahun yang lalu saya dan teman-teman halaqoh saya menyaksikan akad nikah Murobbiyah kami di salah satu GOR kelurahan di Bekasi. Sempat menangis kala itu tetapi tidak sampai sesenggukan. Ya, cukup menitikkan air mata saja. Kala, itu saya sebenarnya masih belum paham tentang konsep akan nikah yang sakral itu. Sekarang yang sudah sedikit lebih tahu, nangisnya jadi lebih banyak. Tidak hanya setitik air mata. Tetapi sampai bertitik-titik air mata.
Sedih. Ya, iya lah. Ngebayangin, seorang ayah yang tadinya memiliki tanggung jawab kepada anak-anaknya harus merelakan melepas anaknya yang sudah dididik dan dirawat sampai sekian puluh tahun kepada laki-laki yang mungkin baru dikenalnya selama beberapa bulan atau beberapa tahun saja. Seketika itu juga status seseorang akan berubah begitu juga kehidupannya. Termasuk masalah uang dan status, juga tempat tinggalnya kemudian serta banyak kejutan-kejutan lainnya  pasca-pernikahan. Makanya, akad itu bukan sesuatu yang sembarangan. Akad nikah itu adalah kaidah syariat yang membuat haram menjadi halal. Kalau belum akad, jangan coba-coba mengahalalkan. Langkahi dulu persetujuan para bapak.
Nih, jadi ngingetin para kaum Adam. Laki-laki itu jangan suka sembarangan dan tidak sopan dengan perempuan. Mereka masih punya seseorang yang harus dimintakan izinnya untuk ‘disakiti atau dibahagiakan’. Mereka masih punya seseorang yang bertangung jawab atas dirinya untuk ‘dimuliakan atau dihinakan’. Enak aja dia ngerayu-ngerayu anak orang. Menjanjikan ini itu kepada si anak perempuan. Perempuan mana coba yang tidak luluh ketika ada yang hendak melamarnya. Secara psikologis memang cinta[perlindungan, kesetiaan] itulah yang dibutuhkan perempuan. Belum jadi dilamar, sudah ditinggal pergi. Alasannya banyak. Banyak alasan. Salah satunya mungkin ada alternatif yang lebih memiliki prospek. Wiuh, bahasanya agak serem nih tetapi memang kebanyakan gitu tuh. Ga laki-laki biasa ga laki-laki yang luar biasa. Sama saja sebenarnya. Perbedaanya dalam masalah penjagaan diri terhadap hawa nafsunya yang buruk saja.[hehe, emosi tinggkat tinggi. Pengalaman kayaknya. Ga ding bukan saya..]
Kalau diingat-ingat banyak kejadian yang membuat ‘sakit hati’ adalah pada akhirnya yang jadi korban atas kesengsaraan yang menimpa perempuan disebabkan perempuannya sendiri [agak feminis dikit nih]. Sudah tahu kan kaidah yang mengatakan bahwa laki-laki kelemahannya ada pada mata (pandangan) dan telinga (pendengaran)nya. Adapun perempuan lemah pada telinga (pendengarannya) dan pada hatinya. Wajar kalau wanita sering luluh karena gombal-gombal yang diberikan sama lawan jenisnya itu. Mau sekeras apapun pendiriannya. Kalau ‘manuver’nya yang dilakukan secara sistemik dan istiqomah. Siapa yang tidak luluh. Yah, paling tidak iba-lah kerena usahanya sudah sangat keras sehingga timbul afeksi. Nah, seringnya lagi nih. Argumen itu dibantahkan sebab kejadiannya dari pandangan si laki-laki nih yang melihat wanita yang –katanya- begitu menarik hatinya –atau syahwatnya, hayo. Ekstrem, tetapi ini bahasa fikh teman-. Makanya dia melakukan manuver-manuver itu. ‘kan gara-gara perempuannya tuh yang pakaiannya menarik pandangan untuk dilihat’. ‘lalu ketika di sms dia memberikan peluang. Jadi salahnya kenapa mau berbalas-balasan sms dengan saya.’
WHAAAAT!!
Kalau saya bisa bela diri, sudah saya samperin tuh laki-laki dan ngajak duel. Sayangnya, saya tidak bisa T.T... lagi pula tidak ahsan ‘berantem’ fisik degan laki-laki. Kemungkinan besar akan kalah sebab emosi wanita lebih dominan sehingga teknik-tekniknya jadi tidak teraplikasikan dengan sempurna. Nendangnynya jadi bikin kaki keseleo misalnya. Atau pas mau ninju jadi kesakitan sendiri karena posisi tangan dan lengan yang salah. Wah, kalau begitu mah pakai jurus instant aja.  Disamperin orangnya trus ditonjok aja hidungnya. Hehe... lebih aman.      
Eeeh.. kok pembahasannya jadi jauh kemana-mana ya. Um, pada akhirnya berbicara masalah takdir adalah berbicara tentang kesiapan kita menerima apa yang akan dan telah Allah berikan kepada kita. Maksudnya, takdir adalah sesuatu yang tekah terjadi. Jadi kalau belum terjadi belum takdir namanya, misalnya akhirnya sahabat saya ini menikah dengan tetangga kecamatannya sendiri yang sebelumnya tidak ia kenal dengan baik karena hanya mengetahui profilnya dari ‘jauh’. Kebetulan si ikhwannya merupakan ketua mahasiswa daerah tempat mereka tinggal. Disinilah letak seni nya. Letak estetikanya. Letak keindahannya dari setiap skenario yang telah Allah tuliskan secara lengkap dan rinci di Lauh Mahfudz (papan yang terjaga).
Begitulah jika takdir sudah bicara. Tidak pandang bulu. Tidak juga pandang waktu. Jikalau memang sudah gilirannya pasti mudah. Tidak ada yang tidak mungkin bagiNya. Kaidahnya: kehendakNya diatas segalanya “Kun Fayakun!” firmanNya, jika diperintahkan untuk ‘jadi’ maka ‘Jadi-lah’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar