Ahlan Wa Sahlan! ^^

Assalamu'alaykum warahmatullah, terimalah sapaan tulus yang datang dari hati ini, Saudaraku. semoga salam ini yang menjadi saksi kita kelak dalam perjalanan menuju syurgaNya. Menembus ruang dan waktu... di pertemuan sesungguhnya setelah kematian bersama Sang Teladan sepanjang masa Rasulullah sholallahu 'alayhi wasalam; di telaga Alkautsar.

Minggu, 03 April 2011

Ikhwan Pohon Mangga

Seusai kelas malam di asrama. Aku bergegas menuju kamar. Malam itu aku agak enggan rehat sejenak di kelas. Ada beberapa urusan yang harus segera ku selesaikan di kamar. Namun, belum sampai keluar kelas, langkah kakiku terhenti satu langkah ke belakang. Ada yang manarikku rupanya. Tak lama aku tahu ternyata seorang mbak2 yang melakukan hal itu. Kala itu aku yang terkejut hanya mengaduh. Kemudian menanyakan kepadanya tentang sesuatu yang mungkin akan beliau sampaikan. Aku memundurkan tubuhku hingga bisa sejajar dengannya.
“Ada apa, Mbak?” tanyaku sekenanya sambil tetap berjalan beriringan.
“Hehe,…” ia menyeringai. Serangkaian gigi-gigi yang kurang sehat itu ditampilkannya dengan ikhlas. Aku membalasnya. Dengan lebih manis tentunya. Dan dengan gigi yang terawat. Pastinya.
“Eh, Kuchul, gimana tuh temenmu… si Ikhwan Pohon Mangga. Haha.” Ucapnya sambil tertawa pendek khas si Mbak.
“Ha? Ikhwan Pohon Mangga?” seketika dahiku mengerut. Berpikir. Mataku berkedip-kedip. Ikhwan Pohon Mangga? Siapa? Maksudnya?...
“Haha,.. itu lho Chul yang kemarin nebangin pohon yang buat acaramu di kampus itu lho…” jawabnya sambil menghentikan langkahku. Berpikir sejenak. Otak ini sedang menscreening memori mencari data base jangka pendek yang mungkin saya terhidden. Namun, belum ku dapati momentum itu.
“Siapa namanya,… *disebutkan*. haha” ucapnya sekenanya sambil tertawa. Kali ini ia menutup sebagian wajahnya dengan tangan.
“Ooo,.. itu *menyebutkan*… haha….”  Kami tertawa bersama. Mencoba menertawakan kebodohan kami dan kekonyolan dari takdir yang telah Allah tuliskan untuknya; Ikhwan Pohon Mangga.

Split Memory
Kala itu pagi menjelang siang. Waktu dzuhur masih sekitar 1 jam lagi. Sebagian besar santri sudah beraktivitas keluar untuk memenuhi bumi Allah yang luas ini. Mencari rizki, mencari ilmu, mencari penghidupan. Tidak mesti materi kan? Namanya juga Mahasiswa yang aktivis [katanya]. Aku masih berada di asrama siang itu. Terpaksa tidak bisa keluar karena harus menunggu kepastian dari seseorang untuk menjemput takdirnya. Bingung sebenarnya, siapa nanti yang akan diajak membersamaiku  menemuinya. Tiba-tiba poselku bergetar. Sms masuk.
                “10 menit lagi sampe”
Aku panik. Posisinya masih dalam keadaan belum cukup siap. Terlebih aku masih belum menemukan teman untuk membersamaiku nanti. Aku keluar kamar. Celingak-celinguk. Berharap menemukan suara yang bisa ku cari sumbernya. Atau menemukan kepala yang bisa ku tarik tangannya [lho, kok jadi horor]. Memang sudah takdir, Allah mengirimkan mbak2 berpakaian serba putih untuk menemaniku [hehe, kok jadi horror gini… tapi beneran kok waktu itu mbak2nya itu 100% manusia dan berpakaian serba putih]. Aku langsung menemuinya dan memintanya untuk menemaniku. Dia mau. Alhamdulillah.
Waktu itu kami menunggu di dalam kelas. Sepuluh menit sudah berlalu dari waktu yang dijanjikan. Tak lama ponsel ku bergetar kembali. Ada sms.
“Sudah sampe depan”
Baik, dalam hatiku menguatkan. Sebelum keluar aku hendak benar-benar memastikan kehadirannya. Melalui pintu kelas aku mengintip keluar. Pertama hanya kepala. Namun, tak ku dapatkan sosok yang akan ku temui nanti. Semakin penasaran akhirnya setengah badanku ku condongkan keluar. Sambil menaikkan kacamata aku menyipitkan pandanganku. “Mana? Kok nggak ada?” ucapku dalam hati. Aku kembali melihat ponselku. Mencoba mengirim sms.
Masuk aja. Nanti posisinya yang dekat kelas. Di dalam.” Tak lama ia membalas.
Yang mana?
Yang di dalem.” Jawabku singkat.

Saya dan mbak2nya masih menunggun kepastian di dalam kelas. Mbaknya kala itu sedang piket kelas. Jadi sambil berenang minum air.
“Gimana Chul?” tanyanya sambil menyapu lantai berwarna putih. Senada dengan warna pakaian dan tembok kelas juga papan tulis.
“Nggak tau mbak. Nggak jelas. Tadi sudah tak liat keluar tapi kok belum ada.” Jawabku sambil melihat menit yang berganti di ponselku.
“Lha, Udah sampe belum.” Tanya si Mbak kembali sambil menyapu debu yang semakin menumpuk dilantai.
“Udah mbak. Dari tadi. Tapi kok aku liat tadi di depan nggak ada ya?” ucapku dengan polosnya. Tak lama ponselku bergetar kembali. Ada sms masuk.
“Udah selesai”

Sejenak aku tertegun. Kok bisa. Selesai dari mana. Wong liat aja belum. Sepersekian detik otak ini membantu merasionalisasikan sms-sms yang sudah dikirim dan situasi yang ada. Beberapa detik kemudian, aku mengajak si Mbak berjalan menuju halaman paling depan asrama kami. Kaki ini kami langkahkan lebar-lebar. Setelah lewat dari rolling door. Benar sudah dugaanku tadi. Kami melihat halaman sudah penuh dengan daun-daun yang berguguran beserta dahan pohon mangga yang sengaja dipotong secara paksa dan terkahir kami melihat si Ikhwan sedang menyapu lengan dan kakinya yang dirubung semut api dengan tangannya. Saya menahan tawa. Si Mbak malah tertawa.
“Udah, Chi.” Ucapnya dengan penuh kebanggaan. Saya terpaksa tersenyum.
“Iya, makasih, ***.” Jawab saya berusaha tulus.
“Ada lagi nggak? Cukupkan?” tanyanya sambil tetap menyapu tubuhnya dari para pasukan semut yang marah karena ia telah dengan sengaja datang ke pohon mangga tepat sarangnya di ganggu. Saya senyum kembali. Kali ini lebih tulus. Pandagan tetap terjaga.
“uum… cukup kok, InsyaAllah.”
“Oiya, ada sapu nggak… berantakan gini nih. Gimana?” tanyanya kembali kali ini ia sambil menyapu dedaunan mangga yang berguguran dengan kakinya.
“Udah gpp, nanti biar kami aja yang nyapu. Syukron.”
“Bener nih. Ya, udah balik ya.” Ucapnya sambil menggambil golok yang digunakannya sebagai alat untuk membacok si Pohon mangga. Aku bergidik. Horror banget.
“Tadi motongnya pake itu? Bisa po?” tanyaku penasaran.
“Bisa lah, tuh buktinya. Udah ya, cabut. Assalamu’alaykum.” Ia pamit bersama temannya menaiki motor merahnya. Menghilang di ujung jalan.
“Wa’aykum salam.” Jawabku kemudian sambil bergegas membersihkan dedaunan dan mengamankan dahan yang baru saja ditebang.
“Temenmu aneh, Chul… hehehe” si Mbak tertawa.
“Hehe, iya mbak. Aku gak kepikiran kalau begini jadinya. Ayo Mbak…” jawabku sambil menyeret dahan pohon mangga yang agak besar itu beserta buah mangga yang masih kecil dan dedauanan yang masih menempel.

Split Memory

Rasanya hendak memberikan sebuah konfirmasi dari apa yang telah terjadi pagi menjelang siang tadi. Aku nggak tega. Namun, kebenaran harus tetap dikatakan walau pahit. Itu kata pepatah Arab. Entahlah, ba’da sholat dzuhr akhirnya mencoba berikhtiyar mengsms seorang teman yang tadi membantu memotong dahan pohon mangga.
Assalamu’alaykum. ***, makasih ya tadi sudah dibantu. Tapi, afwan…
pohonnya salah…” tak lama sms balasan masuk.
What?!?
Terus gimana? Harus motong lagi nggak?” kepanikan terasa menyerang si teman. Aku membalas.
“tidak usah. insyaAllah cukup. Hanya saja targetnya salah.”
“Pantes. Tadi pas saya naik, mbak2 yang di Laundry depan tu panik gitu sambil bisik2. Mana saya bawa golok lagi.” Aku dan si Mbak tertawa membacanya. Sebab ketika aku keluar tadi. aku memang mendapati ekspresi kepanikan si mbak2 londry depan beberapa detik sesaat kami datang dan setelah ia mengetahui bahwa si ikhwan adalah rekan kami, saya mendengar ia bergumam “o, temenne mbak2 e…”. duh, maaf ya mbak… ^^
“untung antum nggak digebukin orang sekampung. Gara-gara di kira mau nyolong mangga. Pake bawa-bawa golok lagi.” Jawab saya sekenanya.
“Alhamdulillah deh, yang penting ngga disuruh manjat lagi. Semutnya banyak banget tadi diatas. Ini aja badan saya masih gatel-gatel.” Balasnya sembari curcol.
Iya, afwan. Saya pikir antum tahu yang saya maksudkan. Ya sudah, syukron. Semoga menjadi amal pemberat di yaumil akhir kelak.” Balasku kemudian mencoba beempati.
Yo, sama-sama.” Ia mengakhiri.

Keesokan harinya, teman lain mengambil dengan menggunakan mobil dan dibawa ke tempat tujuan. Dua dahan pohon mangga yang menjadi replika sebuah pohon pengharapan tentang sebuah impian, cita-cita, dan masa depan. Diikhtiyarkan dari sebuah upaya maksimal yang penuh tantangan, keberanian yang optimal, dan amal yang ilmunya sedikit kurang [sehingga timbul kesesatan]. Huft, diluar dari itu.. ada sebuah tujuan lillah yang hendak kami semua perjuangkan dengan dahan pohon mangga itu. Atas nama Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai utusan.
Biarpun mimpi-mimpi yang ditempelkan hanya sebuah simbolisasi dari rencana kehidupan. Namun, semoga pohon itu tumbuh di hati-hati kalian. Berbuah dengan ranum dan manis. Berdaun rindang dan menyejukkan. Berakar kuat dan menenangkan. Pohon impian. Dari sebuah ikhtiyar sang Teman. Semoga menjadi sunnah hasanah kedepan. Syukron Jazilan; Ikhwan.

Inspired by: Ida Nur Laely 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar